Batu berlubang dan berair yang dipercaya bisa dapatkan jodoh bagi janda jika bercermin dan mencuci muka dengan air tersebut. |
Batu Pamuruyan yang berlokasi di Dusun Rimpaknangsi Desa Hanum menghadap kea rah mata hari terbenam menempati lahan seluas 6x6 meter dan memiliki lubang sebesar 40 x 30 sentimeter dengan kedalaman sepanjang siku lengan yang didalamnya ada air yang tidak pernah kering sekalipun kemarau.
Diatas batu tersebut tumbuh pula pohon Kiara (Beringin) yang cukup besar dan juga pohon pohon hutan seperti lame dan lainnya.
Batu dan lubang air dipercaya masyarakat bisa cepat mendatangkan jodoh bagi janda jika bercermin digunakan bercermin dan mencuci muka dengan air dalam lobang tersebut.
Tak hanya itu dahulu bagi wanita yang ingin pandai menenun cukup dengan mencuci kedua tangannya diair dalam lubang tersebut.
Menurut informasi yang diperoleh dari berbagai sumber dan tutur cerita rakyat sejarah Desa Hanum,Batu Pamuruyan dahulunya adalah batu yang diyakini tempat bercermin bagi Dewi Pangrenyep ketika dia dibuang oleh anak tirinya Raja Ciung Wanara ke Daerah Hanum sekarang.
Setelah Ciung Wanara menjadi raja dan berbalik membuang Dewi Pangrenyep sebagai balasan atas intrik politik di Istana Bojong Galuh yang dia lakukan terhadap ibu Ciung Wanara yaitu Dewi Naganingrum yang dibuang ke Awi Ngambang Gunung Geulis.
Selama masa pembuangannya di pengunungan Hanum di Hulu Sungai Cihanum, sebelum dijemput oleh anaknya Hariang Bangga setelah mendapat pengampunan dari Raja Ciung Wanara,Dewi Pangrenyep yang memang cantik sering bercermin ditempat itu dan menenun serat-serat kayu atau daun nanas untuk membuat pakaiannya sendiri.
Dewi Pangrenyep diperkirakan tinggal di perbukitan Cihanum yang tidak jauh dari tempat itu, dan nama Desa Hanum sendiri salah satunya diambil dari kisah Pembuangan Dewi Pangrenyep tersebut yang merupakan isteri Hanum (Anom) dari Raja Permana Dikusumah.
Sesepuh Dusun Rimpaknangsi Ki Sukardi (94) mengungkapkan Dewi Pangrenyep tersebut dalam nama Leluhur Desa Hanum disebut Nyai Dewi Kang Witana, atau Dewi (perempuan cantik) pertama yang tinggal di Daerah Hanum.
Kemudian mengenai lokasi Situs secara Historis lokasi tersebut merupakan tepat ditepi "jalan raya" yang terdapat pada peta 1760an sebagai alur jalan yang menghubungkan Segara Anakan menuju Dayaluhur kemudian menuju Cirebon.
Sampai tahun 1970an sebelum kendaraan bermotor banyak,alur jalan tersebut masih ramai dipergunakan untuk jalur lalulintas jalan kaki dari arah Sadahayu,Jambu,Palugon yang menuju ke Kota Dayeuhluhur untuk berdagang hasil hutan.
“Oleh para pedagang dari daerah-daerah tersebut batu tersebut dahulu selalu jadi tempat bercermin,meminta wangsit apakah pedangangannya akan menguntungkan atau tidak dan kemudian mereka melemparkan beberapa keping receh ditempat tersebut" ungkapnya.
Sementara itu menurut Ketua adat dan Pegiat situs Sejarah Dayeuhluhur Ceceng Rusmana menjelaskan ketika diteliti oleh Lembaga Adat Desa Hanum,situs Batu Pamuruyan sudah dalam keadaan setengah terabaikan dan lubang batunya sudah penuh dengan lumpur daun yang membusuk dan kemudian dibersihkan dan dirawat bersama dengan Bapak Cocon yang menjadi Juru Kunci Gunung Dayeuhluhur.
Dalam sejarahnya juru kunci Situs Pamuruyan harus seorang perempuan dan harus merupakan seorang janda dan ini diantara juru kunci yang diketahui yang pernah mengurus tempat tersebut adalah Nini Koyo,Nini Sarita,Indung Darsih dan Terakhir Indung Saryi (almarhumah).
“Sampai sekitar tujuh tahun lamanya tidak memiliki juru kunci lagi sekarang sudah ada lagi" ungkapnya.
Keterangan yang diperolehnya dari pemilik lahan yang berbatasan dengan tempat tersebut Kardi menceritakan,dahulu ditempat tersebut pernah ada pernak-pernik batu-batu berukir,tetapi kemudian dijarah oleh Sekelompok orang yang mengangap itu adalah tempat kegiatan menyimpang dan batu-batu besarnya pun ada berupa bekas pukulan-pukulan palu Godam.
“Oleh Lembaga Adat Desa Hanum Batu Pamuruyan sekarang dinyatakan sebagai Situs bersejarah di Desa Hanum dengan status kekosongan juru kunci dan sementara diurus oleh Juru Kunci Gunung Dayeuhluhur" Kata Ceceng. (red)