Menyimpan Sejarah Kerajaan Sunda,Mataram, hingga Jayakarta
Gunung Ketra adalah salah satu gunung yang berlokasi di Desa Datar Kecamatan Dayeuhluhur Kabupaten Cilacap. |
Pada awal era pengembangan islamisasi ke Tatar Sunda oleh Kerajaan Demak,setelah Cirebon dan Banten dikuasai,pelabuhan Sunda Kelapa masih dibawah kekuasaan Kerajaan Pajajaran yang oleh Raja Pajajaran saat itu yaitu Prabu Surawisesa masih sekuat tenaga dipertahankan.
Bahkan konon Prabu Surawisesa ketika masih jadi putera mahkota melakukan perjalanan ke Melaka untuk bersekutu dengan Portugis untuk membendung expansi Demak dan meminta bantuan persenjataan untuk mempertahankan Pajajaran.
Dalam buku Serat Sunda Kuno Carita Parahyangan dibagian akhir peperangan Surawisesa dengan Aria Burah atau Akhmad Fadillah Khan atau Fatahillah,di daerah Kalapa,Ancol Kiyi dan lainnya berlangsung hampir selama pemerintahannya yaitu dua belas tahun ( 1426-1438),
Bahkan dalam Serat Carita Parahyangan disebutkan peperangan itu meluas dari Banten sampai ke Cirebon dan Galuh,bahkan sampai ke Daya Luhur.
Dalam Serat Carita Parahyangan disebutkan kata "Pangrang ka Hanum" yang kini sedang jadi penelitian untuk jadi dasar hari lahirnya Desa Hanum.
Peperangan tersebut demikian hebat,bahkan konon tentara Pajajaran sudah menggunakan bedil yang didapatnya dari Portugis di Melaka,pasukan Pajajaran menguasai daratan, sedangkan pasukan Cirebon yang dibantu Demak menguasai lautan, yang dilaut tidak naik ke darat, yang didarat tidak berani turun ke laut.
Walau dalam Carita Parahiyangan disebutkan Surawisesa lima belas kali tidak pernah kalah perang,tetapi kenyataannya wilayahnya jatuh satu persatu ke tangan Cirebon, bahkan Sunda Kelapa yang merupakan pelabuhan yang strategis akhirnya jatuh,akibat keterlambatan bantuan Portugis kepada Pajajaran.
Sunda Kelapa kemudian setelah jatuh ke tangan Cirebon menjadi wilayah Banten dan namanya menjadi Jaya Karta, dan yang memerintah wilayah tersebut disebut Pangeran Jayakarta atau Pangeran Jaketra (nama versi Sejarah Daya Luhur).
Kisah Pemerintahan Pangeran Jaya Karta dan keturunannya selama kurang lebih 80 tahun (1528 - 1610) diera kedatangan Bangsa Belanda bisa dibaca lengkap di Kisah Sejarah Kota Jakarta.
Bagaimana akhirnya Pangeran Jayakarta dipecat oleh Kesultanan Banten karena diduga melakukan intrik main mata dengan Kerajaan Mataram yang sedang bersaing dengan Banten.
Padahal diduga Pangeran Jayakarta meminta perlindungan dan persekutuan dengan Mataram agar pelabuhan nya tidak dikuasai oleh VOC.
Akhirnya kota Jaya Karta jatuh ke tangan Belanda ( VOC) dan merubah nama kota itu menjadi Batavia.
Dikatakan Ceceng Banyak yang tidak mengetahui nasib Sebenarnya dari Pangeran Jayakarta atau keturunannya setelah Kota Jaya Karta dikuasai VOC,
Tetapi sebuah versi menarik dari Sejarah Keramat Gunung Ketra mengutarakan sebuah kisah bahwa Pangeran Jaya Karta penguasa Kota Jaya Karta setelah dikalahkan VOC.
Dalam buku sejarah kisah Fatahillah,Pangeran Jayakarta meminta bantuan dengan jalan mengabdi ke Kerajaan Mataram dengan cara "incognito" atau menyamar dengan nama Ki Jaketra mirip yang dilakukan oleh Fatahillah yang menyamar dan meminta bantuan Demak setelah Aceh dikalahkan Portugis.
Dalam penelusuran jejak sejarah Gunung Ketra diketahui sebelum Kota Jaya Karta jatuh Pangeran Jaya Karta dan orang-orang kepercayaannya berhasil menyelamatkan harta benda dan pusaka kepangeranan yang telah mereka kumpulkan selama 80 tahun dengan dan menyembunyikannya disuatu tempat rahasia.
Ketika VOC menguasai Jaya Karta mereka tidak menemukan harta kekayaan apapun dari kota tersebut. Terangnya.
Karena kesal tidak bisa menemukan tempat tersebut VOC membakar dan menghancurkan kota Jaya Karta lalu diatasnya didirikanlah kota baru yang disebut Batavia.
Pangeran Jayakarta selalu dicari VOC,maka karena tidak mungkin membawa harta benda tersebut dalam pelarian akhirnya mereka menyimpannya disuatu tempat.
Kemudian Pangeran Jayakarta memutuskan untuk pergi ke timur dan bergabung dengan Mataram yang sedang mengembangkan kekuasaan di Tanah Jawa dengan berharap suatu hari Kota Jaya Karta bisa dia rebut kembali jika bergabung dengan Mataram.
Semenjak Era Panembahan Senopati,kerajaan Mataram telah berusaha melakukan berbagai usaha untuk melebarkan kekuasaan baik ke arah timur atau arah barat dari pusat kekuasaan nya yang dahulunya cuma Alas Mentaok.
Panembahan Senopati dengan politik expansinya ke arah barat telah berhasil menguasai Kadipaten Daya Luhur (1578) dan juga bekas Wilayah Kerajaan Galuh serta Kesultanan Cirebon.
Demikian pula cucunya dari Panembahan Senopati yang merupakan juga seorang Sultan yang punya cita-cita besar untuk menambahkan kebesaran Mataram,maka Sultan Agung dari Mataram dengan ambisinya untuk menguasai seluruh Tanah Jawa,sama melanjutkan politik expansinya ke arah barat.
Setelah Cirebon dan Galuh jatuh,daerah di Tatar Sunda yang ingin dikuasainya adalah Kesultanan Banten,dikarenakan Kesultanan Banten telah merdeka dari Cirebon,maka penguasan Sultan Agung atas Cirebon tidak otomatis menguasai Banten.
Tapi untuk menguasai Kesultanan Banten melalui jalan peperangan Sultan Agung memiliki beberapa ganjalan untuk dapat mewujudkan cita-cita nya, yaitu selain lokasinya yang sangat jauh,didaerah taklukkan Tanah Sunda yang kesetiaan nya kepada Mataram masih diragukan.
Dan hambatan terbesar adalah Kota Jaya Karta yang telah dikuasai oleh sebuah perusahaan asal Belanda yang disebut Kompeni VOC ( Vereeningde Ost _Indische Companie ) dan nama kota tersebut telah menjadi kota Batavia.
Sampai sejauh ini Sultan Agung "tidak rela" jika ada Tanah Jawa yang dikuasai Kerajaan lain selain Mataram,apalagi oleh bangsa asing, maka Sultan Agung tidak berkehendak dalam kebijakan politiknya untuk bersahabat dengan Kompeni VOC.
Maka menguasai Banten Sultan Agung memutuskan untuk menguasai kota Jaya Karta terlebih dahulu.
Sultan Agungpun bersama pasukannya yang dipimpin oleh Tumenggung Bahurekso pada tahun 1628 menyerang kota Batavia,tetapi mengalami kegagalan.
Pada waktu serangan pertama Mataram Pangeran Jaketra yang dalam posisi penyamaran konon menjadi salah satu pemimpin dari para anggota pasukan tilik sandi (mata-mata) yang ditugaskan mengetahui kondisi kota Batavia dan posisi-posisi daerah strategis untuk menunjang kelancaran serangan Mataram.
Akibat kekalahan itu para Senopati dan pasukan dari Tumenggung Bahurekso banyak yang dieksekusi oleh utusan Sultan Agung sendiri sebagai resiko dari kegagalannya.
Catatat Belanda menyebutkan ada sekitar 700-1000 orang dipenggal kepalanya.Ungkap Ceceng.
Berikutnya pada tahun 1629 mataram kembali melancarkan serangan ke dua dengan strategi yang baru termasuk bertambah pasukan dengan bantuan dari para bupati dan Adipati dari tanah Sunda seperti Sumedang Galuh dan Daya Luhur.
Serangan kedua tersebut dilakukan melalui jalan darat dengan rute dari Mataram lurus menuju daerah Banyumas di kaki gunung Slamet,kemudian lurus menuju wilayah Daya Luhur,kemudian Galuh Sumedang dan Batavia.
Tetapi entah karena kesalahpahaman antara pasukan Sunda ( Dipati Ukur) dengan Pasukan Jawa,atau entah kalah Strategi dengan Tentara VOC,dalam serangan yang kedua pun pasukan Mataram mengalami kekalahan.
Dalam serangan yang kedua posisi Ki Jaketra tidak lagi mendapatkan posisi yang strategis, sehingga seiring waktu dan usianya serta realita kondisi pasukan Mataram yang terpecah oleh intrik politik antara Pasukan Jawa dan Sunda.
Selain itu juga adanya tanda-tanda Pasukan Dipati Ukur akan memberontak,maka Ki Jaketra memilih untuk menyelamatkan harta pusakanya yang dia sembunyikan dahulu ketika masih menjadi penguasa Jaya Karta,daripada memikirkan kemenangan Mataram.(Red.01)
(Bersambung)